Imajiku Hutan Rimba, yang Ada Botak dan Tandus
Indonesia tanah kelahiranku yang indah permai, kebanggaanku.
Sekilas seperti itulah lirik lagu Indonesia Jaya yang populer akhir-akhir ini.
Berbicara tentang Indonesia, Negeri yang begitu kaya akan mineral tambang, hutan, laut dan keindahan alamnya memang sangat menarik. Kekayaan dan keindahan alam Indonesia yang dielu-elukan masyarakat kita mungkin telah membuat kita mendongak keatas. Akan tetapi, kita terlalu lama melihat langit sehingga terlena dan lupa untuk kembali mengurus bumi.
Memang benar kata Dr. Janner Sinaga dalam lirik lagunya “Rahmat Tuhan sungguh Maha Murah kepada bangsaku Indonesia, Tanah subur dan alamnya pun kaya, Inilah pusaka bangsa kita”. Indonesia telah dianugerahi kekayaan yang sungguh luar biasa. Kekayaan yang seharusnya bisa mensejahterakan rakyatnya, yang mampu memakmurkan negerinya, yang sanggup membawa rakyat dan negerinya menuju kancah kejayaan, Indonesia Jaya. Akan tetapi, seperti kata iwan Fals Negeri ini memang kaya, kaya penguasanya, yang miskin hatinya. Itulah salah satu kekayaan yang seharusnya lepas dari Indonesia. Ya, pemerintah, penguasa negara yang menjadi salah satu faktor penentu nasib kekayaan alam indonesia dan kesejahteraan rakyatnya.
Hutan merupakan salah satu asset kekayaan penting milik Indonesia. Dikutip dari WWF indonesia, Indonesia memiliki hamparan hutan yang luas, dengan luas hutan Indonesia sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia (data : Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012), hutan Indonesia menjadi salah satu paru-paru dunia yang sangat penting peranannya bagi kehidupan isi bumi. Selain dari luasan, hutan Indonesia juga menyimpan kekayaan hayati. Berbagai flora dan fauna endemik hadir di hutan Indonesia menjadi kekayaan Indonesia dan dunia.
Akan tetapi,
Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut badut serakah
Tanpa HPH berbuat semaunya.
Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi, persis seperti kata Iwan Fals dalam lirik lagunya diatas. Laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Ha per tahun (2011) dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia (WWF Indonesia). Pemanfaatan hutan di Indonesia sudah tidak terkendali lagi, pada Buku Rekor Dunia Guinness 2008 lalu, Indonesia tercatat sebagai negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia dengan 1.8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005 dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari (Greenpeace). Kenyataan yang sangat miris untuk negeri yang kaya ini.
Bahkan, tercatat di situs National Geographic (14/11/13), kerusakan hutan Indonesia dibaca oleh sistem peta Google Earth, jumlah hutan yang hilang antara 2011-2012 hampir 20.000 kilometer persegi. Wilayah Indonesia yang hutannya banyak hilang adalah Sumatra dan Kalimantan. Di sisi lain, tampak bahwa hilangnya hutan mulai terlihat di wilayah Sulawesi bagian barat. Daerah Papua memang masih hijau, tetapi ada titik-titik merah yang menunjukkan sudah dimulainya aktivitas membabat hutan.
Oh jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rejeki generasi nanti
Bicara tentang deforestasi hutan, pasti ada hubungannya dengan perizinan. Disinilah peran pemerintah banyak dipertanyakan. Dikutip dari situs Mongabay.com(10/03/14) Pada 1960-an, eksploitasi hutan sebagai sumber penggerak ekonomi. Akan tetapi, Ketika masuk era reformasi, hutan dianggap sebagai penggerak mesin uang kalangan politisi. Mereka membentuk rantai korupsi dan kolusi dengan pengusaha industri ekstraktif yang merusak dan mengeruk kekayaan alam tanpa mempedulikan kelestarian. Hutan Indonesia, yang tersisa tinggal sedikit. Sebagian besar, sudah diberikan izin pengelolaannya kepada swasta maupun asing. Hutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang dan lain-lain. Persoalan yang pelik dalam pengelolaan hutan di Indonesia, katanya, tidak ada data jelas dan valid serta persoalan dalam pengukuhan kawasan hutan. Sejak penunjukan di tahun 1930-an, yang berhasil dikukuhkan baru 14 juta hektar, padahal luas hutan 130 juta hektar lebih.
Pernyataan “hutan dianggap sebagai penggerak mesin uang kalangan politisi“ sepertinya selaras dengan pemberitaan dari BENGKULU, KOMPAS.com (30/03/14), Walhi menyebutkan, penambahan jumlah perizinan terhadap pengelolaan sumber daya alam, terutama hutan, meningkat pada tahun politik 2014. Hal ini diduga kuat memiliki hubungan erat antara transaksi sumber daya alam dengan kebutuhan ongkos politik pemenangan pemilu. Belum lagi, Data Kementrian Kehutanan tahun 2011 melansir kerugian negara mencapai Rp273 triliun akibat korupsi sektor kehutanan serta hasil investigasi ICW dan Koalisi Anti Mafia Kehutanan 2012, dari 22 kasus korupsi kehutanan potensi kerugian negara mencapai Rp9,2 triliun.
Kasus kabut asap Riau merupakan salah satu bukti buruknya pengelolaan hutan indonesia. Hutan dan lahan gambut di skenario seolah terbakar karena el-nino, padahal beberapa perusahaan berlindung di balik topeng kebakaran hutan dan disana tentu ada “penguasa” yang turut andil. Kalau sudah begini, kesejahteraan rakyat mulai diusik. Emisi karbon dimana-mana akibat gambut yang dibakar. Riau kehilangan berapa persen oksigennya? Hak hidup masyarakat mulai terganggu, tercatat sudah sebanyak 2.484 warga yang terkena ISPA, 107 penyakit iritasi kulit juga disusul iritasi mata sebanyak 91 orang dan asma sebanyak 54 orang (goriau.com 04/03/14). Belum lagi masalah terusiknya suku anak dalam di jambi karena tempat tinggal mereka semakin sempit. Masyarakat adat sangat dirugikan dalam kasus semacam ini, karena perusahaan-perusahaan akan dengan mudah memenangkan sengketa yang seperti ini. Katanya semua demi kesejahteraan rakyat, tapi buktinya?
Gunungku nggak hijau nggak hijau lagi
Hutanku nggak lebat nggak lebat lagi
Alamku nggak bagus nggak bagus lagi
Alamku nggak perawan nggak perawan lagi
Alamku gak perawan lagi, benar kata slank. Gerakan hijau yang dilakukan beberapa perusahaan hanya sebagai topeng untuk tetap bisa menjalankan “bisnis” mereka. Mereka mengeruk keuntungan demi kantong pribadi. Hijaunya hutan indonesia ditentukan oleh masyarakat indonesia sendiri, bukan orang lain. Keindahan dan anugerah milik Indonesia hanya kita yang bisa menentukannya. Pemerintah yang paling berperan dalam hal ini. Indonesia membutuhkan pemimpin yang pro lingkungan. Sebagai masyarakat kecil, kami juga hanya bisa melakukan perubahan kecil. Pemerintah yang besar lah yang bisa memberi perubahan besar. Mulai dari penuntasan persoalan pengukuhan kawasan hutan, Hubungan pusat-daerah yang sinkron dalam pengambilan keputusan perizinan hutan, revisi mendalam terhadap UU Kehutanan dan UU Perkebunan, Jangan jadikan hutan asset kampanye apalagi penggerak mesin uang politisi, intinyakayakan hati bukan kayakan diri.
Sekilas seperti itulah lirik lagu Indonesia Jaya yang populer akhir-akhir ini.
Berbicara tentang Indonesia, Negeri yang begitu kaya akan mineral tambang, hutan, laut dan keindahan alamnya memang sangat menarik. Kekayaan dan keindahan alam Indonesia yang dielu-elukan masyarakat kita mungkin telah membuat kita mendongak keatas. Akan tetapi, kita terlalu lama melihat langit sehingga terlena dan lupa untuk kembali mengurus bumi.
Memang benar kata Dr. Janner Sinaga dalam lirik lagunya “Rahmat Tuhan sungguh Maha Murah kepada bangsaku Indonesia, Tanah subur dan alamnya pun kaya, Inilah pusaka bangsa kita”. Indonesia telah dianugerahi kekayaan yang sungguh luar biasa. Kekayaan yang seharusnya bisa mensejahterakan rakyatnya, yang mampu memakmurkan negerinya, yang sanggup membawa rakyat dan negerinya menuju kancah kejayaan, Indonesia Jaya. Akan tetapi, seperti kata iwan Fals Negeri ini memang kaya, kaya penguasanya, yang miskin hatinya. Itulah salah satu kekayaan yang seharusnya lepas dari Indonesia. Ya, pemerintah, penguasa negara yang menjadi salah satu faktor penentu nasib kekayaan alam indonesia dan kesejahteraan rakyatnya.
Hutan merupakan salah satu asset kekayaan penting milik Indonesia. Dikutip dari WWF indonesia, Indonesia memiliki hamparan hutan yang luas, dengan luas hutan Indonesia sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia (data : Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada bulan Juli 2012), hutan Indonesia menjadi salah satu paru-paru dunia yang sangat penting peranannya bagi kehidupan isi bumi. Selain dari luasan, hutan Indonesia juga menyimpan kekayaan hayati. Berbagai flora dan fauna endemik hadir di hutan Indonesia menjadi kekayaan Indonesia dan dunia.
Akan tetapi,
Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut badut serakah
Tanpa HPH berbuat semaunya.
Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi, persis seperti kata Iwan Fals dalam lirik lagunya diatas. Laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Ha per tahun (2011) dan tercatat sebagai tiga terbesar di dunia (WWF Indonesia). Pemanfaatan hutan di Indonesia sudah tidak terkendali lagi, pada Buku Rekor Dunia Guinness 2008 lalu, Indonesia tercatat sebagai negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia dengan 1.8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005 dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari (Greenpeace). Kenyataan yang sangat miris untuk negeri yang kaya ini.
Bahkan, tercatat di situs National Geographic (14/11/13), kerusakan hutan Indonesia dibaca oleh sistem peta Google Earth, jumlah hutan yang hilang antara 2011-2012 hampir 20.000 kilometer persegi. Wilayah Indonesia yang hutannya banyak hilang adalah Sumatra dan Kalimantan. Di sisi lain, tampak bahwa hilangnya hutan mulai terlihat di wilayah Sulawesi bagian barat. Daerah Papua memang masih hijau, tetapi ada titik-titik merah yang menunjukkan sudah dimulainya aktivitas membabat hutan.
Oh jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rejeki generasi nanti
Bicara tentang deforestasi hutan, pasti ada hubungannya dengan perizinan. Disinilah peran pemerintah banyak dipertanyakan. Dikutip dari situs Mongabay.com(10/03/14) Pada 1960-an, eksploitasi hutan sebagai sumber penggerak ekonomi. Akan tetapi, Ketika masuk era reformasi, hutan dianggap sebagai penggerak mesin uang kalangan politisi. Mereka membentuk rantai korupsi dan kolusi dengan pengusaha industri ekstraktif yang merusak dan mengeruk kekayaan alam tanpa mempedulikan kelestarian. Hutan Indonesia, yang tersisa tinggal sedikit. Sebagian besar, sudah diberikan izin pengelolaannya kepada swasta maupun asing. Hutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang dan lain-lain. Persoalan yang pelik dalam pengelolaan hutan di Indonesia, katanya, tidak ada data jelas dan valid serta persoalan dalam pengukuhan kawasan hutan. Sejak penunjukan di tahun 1930-an, yang berhasil dikukuhkan baru 14 juta hektar, padahal luas hutan 130 juta hektar lebih.
Pernyataan “hutan dianggap sebagai penggerak mesin uang kalangan politisi“ sepertinya selaras dengan pemberitaan dari BENGKULU, KOMPAS.com (30/03/14), Walhi menyebutkan, penambahan jumlah perizinan terhadap pengelolaan sumber daya alam, terutama hutan, meningkat pada tahun politik 2014. Hal ini diduga kuat memiliki hubungan erat antara transaksi sumber daya alam dengan kebutuhan ongkos politik pemenangan pemilu. Belum lagi, Data Kementrian Kehutanan tahun 2011 melansir kerugian negara mencapai Rp273 triliun akibat korupsi sektor kehutanan serta hasil investigasi ICW dan Koalisi Anti Mafia Kehutanan 2012, dari 22 kasus korupsi kehutanan potensi kerugian negara mencapai Rp9,2 triliun.
Kasus kabut asap Riau merupakan salah satu bukti buruknya pengelolaan hutan indonesia. Hutan dan lahan gambut di skenario seolah terbakar karena el-nino, padahal beberapa perusahaan berlindung di balik topeng kebakaran hutan dan disana tentu ada “penguasa” yang turut andil. Kalau sudah begini, kesejahteraan rakyat mulai diusik. Emisi karbon dimana-mana akibat gambut yang dibakar. Riau kehilangan berapa persen oksigennya? Hak hidup masyarakat mulai terganggu, tercatat sudah sebanyak 2.484 warga yang terkena ISPA, 107 penyakit iritasi kulit juga disusul iritasi mata sebanyak 91 orang dan asma sebanyak 54 orang (goriau.com 04/03/14). Belum lagi masalah terusiknya suku anak dalam di jambi karena tempat tinggal mereka semakin sempit. Masyarakat adat sangat dirugikan dalam kasus semacam ini, karena perusahaan-perusahaan akan dengan mudah memenangkan sengketa yang seperti ini. Katanya semua demi kesejahteraan rakyat, tapi buktinya?
Gunungku nggak hijau nggak hijau lagi
Hutanku nggak lebat nggak lebat lagi
Alamku nggak bagus nggak bagus lagi
Alamku nggak perawan nggak perawan lagi
Alamku gak perawan lagi, benar kata slank. Gerakan hijau yang dilakukan beberapa perusahaan hanya sebagai topeng untuk tetap bisa menjalankan “bisnis” mereka. Mereka mengeruk keuntungan demi kantong pribadi. Hijaunya hutan indonesia ditentukan oleh masyarakat indonesia sendiri, bukan orang lain. Keindahan dan anugerah milik Indonesia hanya kita yang bisa menentukannya. Pemerintah yang paling berperan dalam hal ini. Indonesia membutuhkan pemimpin yang pro lingkungan. Sebagai masyarakat kecil, kami juga hanya bisa melakukan perubahan kecil. Pemerintah yang besar lah yang bisa memberi perubahan besar. Mulai dari penuntasan persoalan pengukuhan kawasan hutan, Hubungan pusat-daerah yang sinkron dalam pengambilan keputusan perizinan hutan, revisi mendalam terhadap UU Kehutanan dan UU Perkebunan, Jangan jadikan hutan asset kampanye apalagi penggerak mesin uang politisi, intinyakayakan hati bukan kayakan diri.
Lihat hutan dari pesawat
Mana solusi Indonesia
Imajiku hutan rimba
Yang ada botak dan tandus
(SLANK_Nggak Perawan Lagi)
Negeri jayalah bangsaku slalu
Engkaulah yang kucinta
Segenggam harapan sejuta mimpi
Ingin ku abdikan padamu negriku
(Indonesia Jaya)
PENULIS : SUCI VARISTA SURY
Posting Komentar untuk "Imajiku Hutan Rimba, yang Ada Botak dan Tandus"